PENYEBAB PERSELINGKUHAN DI ERA KEHIDUPAN
- Dibaca 86466 kali
- 05 November 2018 00:00:00

A. Latar Belakang Permasalahan
1. Pengertian
Perselingkuhan adalah hubungan antara individu baik laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah ataupun yang belum menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya. Walaupun demikian, pengertian "berselingkuh" dapat berbeda tergantung negara, agama, dan budaya. Pada zaman sekarang, istilah perselingkuhan digunakan juga untuk menyatakan hubungan yang tidak setia dalam pacaran.
Menurut Vaughan (2003) menyebutkan bahwa perselingkuhan adalah keterlibatan seksual dengan orang lain yang bukan merupakan pasangan resminya. Data yang diperoleh Hawari (2002) menyebutkan bahwa perselingkuhan yang terjadi di Jakarta, 90% dilakukan oleh suami dan 10% dilakukan oleh istri. Ia juga mengemukakan suami mulai berselingkuh ketika usianya diperkirakan 40 tahun
Perselingkuhan akhir-akhir ini menjadi bahan perbincangan yang menarik dan santer, sebab perselingkuhan itu sendiri tidak hanya didominasi oleh para pria, tetapi juga wanita di segala lapisan dan golongan, bahkan tidak memandang usia. Sebenarnya fenomena ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar seperti halnya Jakarta, tetapi juga di kota-kota kecil atau pun di daerah. Masalahnya, berita-berita mengenai perselingkuhan lebih banyak disorot di kota besar karena di kota besar seperti halnya Jakarta segala sesuatu lebih transparan termasuk dalam hal batasan norma-norma. Di kota besar seperti Jakarta, segala hal bisa bersifat relatif; artinya, segala sesuatu tidak bisa dinilai dari satu sudut pandang saja.
Rumah tangga adalah lembaga moral terbesar dalam masyarakat. Di rumah tanggalah setiap individu memperoleh pendidikan mendasar. Suami/istri memerankan tugas mulianya secara moral hampir 50% berada di rumah tangga. Dari cara mendidik anak-anaknya, komunikasi, tata krama, life survive semuanya digambarkan begitu gamblang di rumah tangga. Ketika seseorang tidak lagi menyadari fungsi rumah tangga sebagai lembaga moral terbesar, maka ia benar-benar jatuh 50% dari hakekat moralnya. Wajar kalau semua agama menghukum berat pelaku selingkuh, sebab kalau dibiarkan sama dengan 50% keruntuhan moral masyarakat. Seperti kita mengenal dalam ajaran Islam, selingkuh berarti mati, dan sekaligus cerai. Demikian pula dalam Kristiani, perceraian menjadi mungkin karena salah satu pihak telah berzina. Dalam Hindu pun selingkuh memperoleh hukuman yang berat. Bahkan, semua budaya primitif sekalipun menganggap selingkuh sebagai sebuah aib dari 10 aib terbesar.[3]
2. Alasan Mengapa orang berselingkuh
Setiap orang yang menikah sudah tentu mendambakan dan mencita-citakan bisa menempuh kehidupan perkawinan yang harmonis. Namun bagaimana pun juga, kita tidak bisa melupakan bahwa sebuah perkawinan pada dasarnya terdiri dari 2 orang yang mempunyai kepribadian, sifat dan karakter, latar belakang keluarga dan problem yang berbeda satu sama lain.
Semua itu sudah ada jauh sebelum keduanya memutuskan untuk menikah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kehidupan perkawinan pada kenyataan selanjutnya tidak seindah dan seromantis harapan pasangan tersebut. Persoalan demi persoalan yang dihadapi setiap hari, belum lagi ditambah dengan keunikan masing-masing individunya, sering menjadikan kehidupan perkawinan menjadi sulit dan hambar. Jika sudah demikian, maka kondisi itu semakin membuka peluang bagi timbulnya perselingkuhan di antara mereka.
Ada beberapa alasan umum seseorang berselingkuh :
a) ingin melarikan diri secara emosional dari pasangannya.
b) ingin bertualang dan ingin mengetahui seperti apa berhubungan seks dengan orang yang bukan pasangannya.
c) marah, dendam atau permusuhan yang terpendam terhadap pasangannya.
d) ingin melakukan lebih banyak seks atau hal-hal yang menyerupai perbuatan seksual yang tidak ia dapatkan atau berbeda dari pasangannya.
Debbie Layton-Tholl, seorang psikolog, pada tahun 1998 meneliti alasan-alasan terjadinya perselingkuhan di antara pasangan setelah sekian lama menikah. Menurut Debbie, biasanya orang memakai alasan mengapa dirinya berselingkuh adalah karena :
1. merasakan ketidakpuasan dalam kehidupan perkawinan
2. adanya kekosongan emosional dalam kehidupan pasangan tersebut
3. problem pribadi di masa lalu
4. kebutuhan untuk mencari variasi dalam kehidupan seksual
5. sulit untuk menolak “godaan”
6. marah terhadap pasangan
7. tidak lagi bisa mencintai pasangan
8. kecanduan alkohol atau pun obat-obatan
9. seringnya hidup berpisah lokasi
10. dorongan untuk membuat pasangan menjadi cemburu
3. Adapun faktor penyebab terjadinya selingkuh yaitu antara lain :
1. Faktor Internal
a). Konflik dalam perkawinan yang tidak kunjung selesai dan terus-menerus oleh perbedaan latar belakang pendidikan, perkembangan kepribadian, subkultur, serta pola hidup, yang menyebabkan ketidakserasian relasi antarpasangan.
b). Kekecewaan oleh berbagai macam sebab seperti sifat yang berbeda, cara berkomunikasi yang kurang terasa pas
c). Ketidakpuasan dalam kehidupan seksual oleh disfungsi seksual atau penyimpangan perilaku seksual lainnya.
d). Problema finansial.
e). Persaingan antarpasangan baik dalam karier dan perolehan penghasilan.
2. Faktor External
a). Lingkungan pergaulan yang mendorong seseorang untuk mengambil keputusan mencoba menjalin hubungan perselingkuhan, demi tidak mendapat sebutan STS (suami takut istri) di kalangan rekan sepergaulannya.
b). Kedekatan dengan teman lain jenis ditempat kerja yang berawal dari saling mencurahkan kesusahan dan kekecewaan dalam rumah tangga. Dari curhat, terjalin kedekatan emosional yang berlanjut dengan kontak fisik intim.
c). Godaan erotis-seksual dari berbagai pihak, rekan kerja dan teman dengan motif tertentu
Perselingkuhan dengan atau tanpa hubungan seks mudah untuk ditemukan, bahkan untuk dilakukan. Perselingkuhan tak memandang status sosial, tingkat pendidikan, jabatan, bidang profesi, domisili, bahkan gender. Semoga artikel selingkuh dan perselingkuhan ini bisa anda gunakan sebagai referensi untuk mencegah dan mengatasi pasangan yang selingkuh.
Ketidakpuasan dalam Kehidupan Perkawinan Karena Harapan dan Impian akan Romantisme
“Harapan yang terlalu tinggi terhadap pasangan dan terhadap kehidupan perkawinan itu sendiri dapat menjadi boomerang bagi kelangsungan hidup perkawinan seseorang”
Banyak orang terlalu cepat merasa tidak puas dalam kehidupan perkawinan yang mungkin baru saja dijalani beberapa saat. Seringkali mereka tidak sadar, bahwa mereka sendiri lah yang membuka peluang bagi ketidakpuasan tersebut karena sejak awal mereka sudah menaruh harapan dan impian yang terlalu tinggi baik terhadap pasangan maupun terhadap kehidupan perkawinan itu sendiri. Setelah mereka menghadapi kenyataan hidup yang sebenarnya, mereka lantas merasa kecewa dan mulai menyalahkan pasangannya.
Seringkali mereka lupa, bahwa ketidakmatangan pribadi mereka sendiri lah yang ikut mempengaruhi dinamika yang terjadi dalam menghadapi setiap persoalan rumah tangga. Lama kelamaan, karena masing-masing tidak berusaha untuk memperbaiki diri malah mencari hiburan dan kompensasinya sendiri, maka cinta yang menjadi pengikat di antara mereka semakin pudar. Bagaimana pun juga, jika dalam sebuah keluarga atau pun perkawinan sudah tidak diwarnai oleh perasaan cinta dan afeksi terhadap pasangan, mudah sekali timbul kebosanan di antara mereka. Jika kebosanan itu tidak segera ditanggulangi, maka lambat laun akan mempengaruhi sikap dan perilaku interaksi serta komunikasi antara pasangan tersebut. Sikap apatis, pasif atau bahkan pasif-agresif bisa menjadi indikasi adanya masalah dalam kehidupan perkawinan seseorang. Emotional divorce banyak dialami oleh keluarga-keluarga mulai dari keluarga baru hingga keluarga yang sudah bertahun-tahun lamanya sehingga cinta kasih yang menggebu pada akhirnya padam dan menjadi dingin. Meskipun secara fisik pasangan suami istri tersebut tidak hidup secara terpisah (masih tinggal serumah), namun secara emosional sudah terdapat jarak yang membentang. Dengan pudarnya cinta di antara mereka, semakin longgarlah ikatan dan komunikasi di antara suami istri tersebut sehingga mendorong salah satu atau keduanya untuk mencari seseorang yang dapat memenuhi kebutuhan, entah itu kebutuhan emosional maupun kebutuhan fisik seperti kebutuhan seksual.
4. Perselingkuhan karena Problem Pribadi di Masa Lalu
Perselingkuhan yang terjadi antara suami istri sebenarnya tidak lepas dari urusan pribadi masing-masing. Perlu disadari, bahwa dalam perkawinan terdapat dua orang yang punya karakter dan kepribadian yang sangat berbeda satu sama lain sebagai hasil bentukan dari pola asuh orang tua di masa lalu, pengaruh lingkungan dan juga unsur genetika (keturunan).
Banyak dari kita yang belum menyadari, bahwa ternyata diri kita sendiri sebenarnya merupakan pangkal dari semua masalah akibat ketidakmatangan emosi dan ketidakharmonisan (konflik) yang sedang terjadi dalam hidup kita secara pribadi. Sayangnya, kedua hal tersebut sering belum selesai bahkan sampai memasuki dunia perkawinan. Memang di awal perkawinan semua tampak manis dan harmonis karena keduanya masih berusaha menampilkan diri sebaik-baiknya. Namun lama kelamaan, ibarat orang menggunakan topeng terus-menerus sehingga akhirnya kecapaian sendiri, maka sama saja halnya dengan kehidupan suami istri. Lama-lama kita akhirnya harus berhadapan tidak saja dengan realita tentang pasangan, tetapi juga realita diri sendiri. Kita tidak bisa berlama-lama sembunyi di balik kepalsuan karena hal itu sangat menguras energi. Lama- kelamaan, keluarlah keaslian diri kita yang tercermin dalam sikap, perilaku dan pola pikir yang termanifestasi setiap hari, seperti dalam memandang dan menyelesaikan persoalan, mengambil keputusan, mempersepsi suatu keadaan, nilai dan prinsip yang dimilikinya, mekanisme pertahanan diri dalam menghadapi tekanan, dalam berinteraksi dengan pasangan dan orang lain, pola asuhnya terhadap keturunannya sendiri, proses penyesuaian diri, kesehatan mental, masalah kejiwaan yang muncul di kemudian hari, bahkan mempengaruhi pemilihan terhadap pasangan hidup.
Jadi, sebenarnya jangankan mengurus diri orang lain, mengurus diri sendiri itu lah yang paling sulit karena berhadapan dengan diri sendiri adalah situasi yang sama sekali tidak menyenangkan bagi kebanyakan orang. Lama-kelamaan, diri kita yang asli mulai menuntut pasangan kita untuk memenuhi kebutuhan kita dan memperlakukan kita seperti yang kita inginkan. Kalau kita pelajari secara mendalam, mungkin kita akan temukan adanya benang merah antara bagaimana orang tua kita dahulu memperlakukan kita dan memenuhi kebutuhan (emosional dan fisiologis) kita dengan tuntutan kita terhadap pasangan. Ketidakmatangan emosi yang mungkin masih menjadi bagian dari diri kita pada dasarnya merupakan akibat dari proses perkembangan psikologis selama masa pertumbuhan; dan hal itu juga diwarnai oleh pola asuh orang tua, terutama pada masa-masa awal kehidupan seseorang.
Ambil saja contohnya, jika sejak kecil seorang anak tidak memperoleh kasih sayang dan tidak mendapat pemenuhan kebutuhan terutama kebutuhan emosional, maka dalam perkembangan selanjutnya (jika selama proses kehidupan selanjutnya situasi ini konstan dan tidak ada perubahan yang positif), ia juga akan tumbuh menjadi orang yang sulit untuk menunjukkan afeksi, kasih sayang dan perhatian pada orang lain; bahkan bisa saja muncul elemen ketidakmampuan untuk mempercayai orang lain karena waktu masih kecil, tidak ada satu orang pun yang bisa ia percayai (bahkan kedua orang tuanya) yang secara konstan hadir baginya dan mampu memberikan kasih sayang serta perhatian secara konstan. Jadi, kelak pada saat ia mencari pasangan, dalam alam bawah sadarnya tindakan ini dilandasi oleh keinginan dan kebutuhan untuk selalu diperhatikan. Agar ia dapat memastikan bahwa pasangannya itu selalu ada setiap saat ia membutuhkan (tidak seperti orang tuanya dahulu), maka biasanya akan muncul kemudian sikap-sikap seperti kecemburuan yang berlebihan, terlalu membatasi kegiatan pasangan, kecurigaan dan kekhawatiran berlebihan terhadap kesetiaan pasangan, keinginan untuk selalu diprioritaskan dalam setiap perkara dan tuntutan untuk selalu diperhatikan dan dipenuhi keinginannya. Jika sang pasangan punya sikap dan tindakan yang di luar keinginannya, ia kemudian merasa dikhianati, diacuhkan, merasa tidak diperhatikan, merasa dirinya tidak penting lagi, merasa dirinya tidak lagi dicintai, merasa pasangan sudah tidak menaruh hormat lagi padanya, merasa diri sudah tidak lagi menarik bagi pasangan, bahkan merasa dirinya hendak disingkirkan secara perlahan-lahan. Pikiran-pikiran negatif tersebut akhirnya berputar-putar dalam benaknya sehingga secara tidak sadar ia jadi terlalu sensitif dalam menanggapi kejadian yang sebenarnya masih normal dan wajar. Misalnya, ketika suami harus pergi ke acara sendirian (karena sifatnya yang formal), istrinya kemudian berpikir dirinya sengaja tidak diajak karena suaminya ingin mengajak wanita lain, atau merasa suaminya malu membawa dirinya yang dirasa sudah tidak menarik lagi, atau karena tingkat pendidikannya tidak sebanding dengan suami atau rekan kerjanya sehingga takut obrolannya tidak nyambung.
Karena sering terjadi hal-hal demikian, maka dapat dipastikan akan timbul kejengkelan dan salah paham yang tidak ada ujung pangkalnya karena masing-masing bersikukuh pada pendapat dan keyakinannya sendiri. Akibatnya, pihak yang tadinya tidak punya maksud apa-apa, jadi kesal, marah dan merasa lelah akan sikap pasangannya. Lantas, yang tadinya memang pulang larut malam karena tuntutan pekerjaan, akhirnya sering pulang malam mencari hiburan untuk melepaskan diri dari stress di rumah. Dan karena setiap orang pada suatu saat perlu seseorang yang dapat menjadi curahan emosi, terbukalah jalan baginya untuk mencari substitusi dari pasangan yang sudah tidak bisa lagi menjadi teman bicara yang enak. Kalau ternyata ada seseorang yang mampu memberikan perhatian dan pengertian yang selama ini tidak ditemukan dalam diri pasangannya yang kerjanya di rumah hanya marah-marah, maka terbukalah kesempatan untuk menciptakan hubungan yang melibatkan faktor emosi, Jika sudah demikian, terjadilah perselingkuhan yang selama ini ditakuti atau pun menjadi bahan kecurigaan istri. Hal ini lah yang diistilahkan dalam psikologi sebagai self-fulfilling prophecy.
Pola Yang Berulang
Tanpa sadar, ada sebagian dari diri kita yang juga ada pada diri kedua orang tua kita dan akhirnya mewarnai hubungan kita baik dengan istri atau suami dan dengan anak-anak. Coba saja kita bayangkan. Apakah cara kita mengasuh anak-anak ada kemiripan dengan cara kita dahulu diasuh dan dididik oleh ayah dan ibu kita ? Atau apakah cara kita berkomunikasi atau berinteraksi dengan istri/suami hampir sama atau ada hal-hal yang sama dengan cara orang tua kita dahulu berinteraksi satu sama lain ? Yang lebih ekstrim lagi, kita coba memperhatikan, apakah sikap dan perilaku anak kita ada kemiripan dengan sikap dan perilaku kita dahulu (coba saja tanya pada orang tua kita) ?
Dari situ kita bisa menyimpulkan, bahwa apa yang dialami oleh diri kita dan perkawinan kita saat ini, bukanlah merupakan kasus tunggal yang terjadi begitu saja. Semua itu ada hubungan sebab akibatnya dengan masa lampau. Jadi, semua problem psikologis, termasuk ketidakmatangan emosional maupun konflik-konflik dalam diri sendiri pada dasarnya punya akar di masa lalu. Kita memang tidak boleh begitu saja menyalahkan kedua orang tua kita yang sudah susah payah mendidik dan membesarkan kita dengan tulus hati, karena bagaimana pun juga hal itu bukanlah kesalahan mereka sepenuhnya, dan lagi mereka juga tidak melakukannya dengan kesadaran karena pola yang mereka terapkan pada diri kita, juga mereka terima dari kedua orang tua mereka di masa lalu.
Selama kedua pihak masih bisa berpikir jernih, dan mau memeriksa diri, maka kemungkinan besar masih bisa mengendalikan diri untuk mencegah terjadinya konflik yang berkepanjangan baik itu yang terpendam maupun secara terbuka. Namun, jika salah satu pihak atau bahkan keduanya sudah menutup diri terhadap penyelesaian masalah karena merasa diri yang paling benar dan pasangan kita yang salah, maka hal itu tidak hanya akan mengakibatkan memburuknya hubungan perkawinan, namun bahkan yang lebih serius, tidak membuat masing-masing bertumbuh dalam pribadi yang lebih dewasa dan matang setelah mampu menerima dan kemudian mengolah elemen-elemen negatif diri sendiri untuk kemudian mentransformasikannya menjadi sesuatu yang positif bagi pertumbuhan jiwa yang sehat. Kegagalan untuk mempertumbuhkan diri sendiri inilah yang akhirnya akan membawa pada kegagalan selanjutnya meskipun misalnya orang tersebut menikah lagi. Oleh karena itu, sering kita mendengar ada orang-orang yang berulang kali kawin-cerai dan selalu karena masalah yang kurang lebih sama sifatnya. Masalah itu bukan hanya terletak pada orang lain, tapi justru kemungkinan besar terletak pada diri sendiri yang tampaknya sudah waktunya untuk menjalani transformasi.
Perselingkuhan Untuk Memenuhi Kebutuhan Seksual
Menurut Debbie Layton-Tholl, seorang psikolog, perselingkuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah menikah pada dasarnya tidak semata-mata didasarkan pada kebutuhan untuk mencari kepuasan seksual. Alasan yang terakhir di sebut itu malah mempunyai persentase terendah dibandingkan dengan alasan yang lain. Alasan paling besar dan kuat yang mendorong perilaku orang untuk selingkuh 90% karena tidak terpenuhinya kebutuhan emosional dalam hubungan antara suami istri. Kebutuhan seksual bukanlah menjadi alasan pertama dan utama, tapi justru muncul setelah terjadinya kehancuran emosional dalam kehidupan perkawinan seseorang karena orang tersebut mencoba mencari orang lain yang dapat memenuhi kebutuhan emosional. Jadi, perilaku seksual yang sering mewarnai affair atau pun perselingkuhan sebenarnya merupakan sarana untuk memelihara dan mempertahankan affair tersebut, dan bukan menjadi alasan utama.
Oleh :
Kasriyati,S.Pd.M.Si.
PKB Kecamatan Wates