Belajar dari Perjuangan Si Anak Yatim
- Dibaca 2376 kali
- 09 Januari 2019 15:05:55
Kisah hidup sesorang tidaklah selalu mulus, landai atau lancar-lancar saja. Banyak di antara kita yang memiliki kisah hidup yang unik dan penuh perjuangan, terutama dalam mencapai sebuah cita-cita atau keinginan. Berangkat dari itu, kita dapat mengambil hikmah dari perjuangan seorang anak yatim yang ibunya adalah buruh pencari pasir di Sungai Progo. Intinya kebulatan tekad, semangat, disiplin yang tinggi, kejujuran dan keikhlasan untuk berjuang yang dilambari doa adalah kunci utama untuk menggapai sebuah cita-cita dan harapan. Semoga kisah ini membawa manfaat bagi kita semua. Dan ini ringkasan kisahnya:
Siang itu, Minggu akhir tahun 1981, di tengah sinar matahari yang panasnya membakar, Ardi yang bertubuh mungil dan dekil, sibuk mengayunkan sekopnya yang berisi penuh pasir untuk mengisi bak truk di pinggiran Kali Progo. Bersama dua orang kawannya yang berusia dua kali lipat, Ardi yang baru berusia 13 tahun tampak sibuk mengeruk endapan pasir langsung dinaikkan ke atas truk. Mereka bekerja cepat seperti dikejar waktu. Keringat yang bercucuran membasahi kaosnya tak dihiraukan, juga rasa dahaga yang menyekat kerongkongan. Ketiganya ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Memenuhi bak truk dan berangkat menuju Stasiun Sentolo untuk memindahkan pasir tersebut ke gerbong kereta terbuka yang selanjutnya akan dibawa ke Jakarta. Konon, pasir dari Kali Progo dikenal sangat baik kualitasnya sehingga cocok untuk campuran semen dalam pembuatan bantalan rel, jembatan bahkan gedung-gedung pencakar langit.
Menjelang magrib, Ardi telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia tampak gembira saat menerima beberapa keping uang logam hasil tetesan keringatnya. Perhitungannya, uang itu cukup untuk beli buku dan jajan selama beberapa hari saat sekolah. Di lain waktu, ia akan mencari kesempatan lagi untuk bekerja serupa. Pekerjaan yang sebenarnya hanya cocok untuk orang dewasa yang sehat dan berbadan kekar. Yach, karena itu memang pekerjaan kasar yang menguras tenaga.
Ardi yang baru sebulan ditinggal ayahnya, memang terpaksa harus mencari sendiri biaya sekolahnya. Ibunya yang juga menjadi buruh pencari pasir semenjak suaminya meninggal, tak cukup mampu untuk membiayai sekolah Ardi yang saat itu duduk di bangku SMP kelas 1. Hasilnya bekerja hanya cukup untuk menopang makan dan sekedar membelikan lauk makan adiknya yang masih balita. Karena kondisi ekonomi keluarga yang ngos-ngosan itulah, kakak perempuan terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak cukup biaya. Ia memilih ikut orang di kota yang kebetulan berjualan jamu jawa.
Saat lulus SMP, ibunya Ardi menyarankan untuk berhenti sekolah saja dan membantu orang tua untuk bekerja. Dia bilang kalau dirinya tak mampu lagi mendukung biaya apapun untuk sekolahnya. Bahkan untuk beli baju atau sekedar untuk beli es saat sekolah. Tapi tekad Ardi sudah bulat. Ingin merubah nasib dan masa depannya. Ia ingin sekolah setinggi-tinginya untuk kemudian bekerja di tempat yang lebih baik. Berkat ketekunannya belajar, Ardi yang selalu menjadi ketua kelas di sekolahnya, mendapat beasiswa Supersemar sebanyak Rp. 120 ribu. Nilai yang cukup besar saat itu. Dengan bekal uang tersebut, Ardi mendaftar di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Wates dan diterima. Alhamdulillah, di awal tahun kebutuhan sekolahnya dari uang gedung, seragam dan buku-buku pelajaran yang harus dibeli. Selanjutnya, ia harus berjuang keras mencari penghasilan untuk menopang kebutuhan sekolahnya. Pagi sekolah, sore hari buruh muat pasir di sungai. Bila kebutuhan sekolahnya membengkak, pagi hari sesudah subuh telah berangkat ke sungai mengumpulkan pasir untuk dijual pagi itu juga, sebelum Ardi berangkat sekolah. Ia terpaksa memendam keinginannya untuk bermain atau bersantai ria seperti kawan-kawannya, karena kondisinya yang tidak memungkinkan. Sebuah perjuangan yang membutuhkan semangat baja.
Lulus SPG, Ardi yang mendapat predikat rangking dua di sekolahnya mendapat anugerah beasiswa Bakat Prestasi dari sekolahnya. Uangnya tidak banyak, hanya Rp. 144 ribu. Tapi saat itu sudah cukup untuk bekal awal mendaftar di Perguruan Tinggi incarannya, yakni IKIP Negeri Yogyakarta. Ardi ingin mengambil jurusan Pendidikan Geografi kesukaannya. Beruntung ia diterima dan jadilah Ardi sebagai mahasiswa di perguruan tinggi tersebut. Ditengah cibiran beberapa tetangga yang menganggap Ardi bermimpi terlalu tinggi, ia berjuang keras untuk bisa tetap kuliah dalam kondisi apapun. Beasiswa Supersemar yang ia terima di tahun kedua, menambah semangatnya untuk menyelesaikan kuliahnya secepat mungkin.
Di semester kelima, Ardi mengalami masa-masa sulit, karena selain uang beasiswa sudah habis untuk mencukupi kebutuhan kuliah yang cukup besar, pasir di Kali Progo sudah tidak bisa diharapkan karena habis. Sementara yang mencari pasir dan tenaga bongkar muatnya telah begitu banyak. Walhasil, Ardi memutar otak. Ia putuskan untuk ikut dosennya yang punya usaha sebagai pemborong bangunan. Sial, karena fitnah dari temannya bekerja ia terpaksa berhenti bekerja dan tidak dibayar. Ardi kemudian, ikut dengan dosen Universitas Diponegoro yang tinggal di kawasan Mlati Sleman selama beberapa bulan. Jarak kurang lebih 5 kilo ke kampus ditempuhnya dengan sepeda butut agar menghemat biaya.
Baru di semester tujuh, titik terang untuk dapat menyelesaikan kuliah mulai terlihat. Setelah selama tiga bulan praktek mengajar di SMA N 7 Yogyakarta, Ardi yang memiliki ketrampilan membuat data dinding sekolah, diminta bekerja di sekolah itu sebagai tenaga honorer yang bertugas membuat data dinding dan merawat kebun sekolah. Tugas lainnya membantu Guru Geografi di sekolah untuk menyiapkan materi pelajaran. Semacam asisten guru pada saat itu. Disinilah perubahan nasib di mulai. Di tengah kebingungan mencari uang untuk KKN dan menyusun Skripsi yang semakin dekat. Ada pengumuman lomba penulisan buku untuk guru dengan hadiah yang menggiurkan. Ardi berpikir, ini jalan satu-satunya yang dapat ia tempuh untuk menyelesaikan kuliahnya. Ia ingin lomba dan menang.
Dengan penuh harapan, Ardi menyampaikan keinginannya pada Guru Geografi di sekolah tersebut. Gayung bersambut. Guru tersebut mengijinkan untuk mengikuti lomba atas namanya. Betapa gembiranya Ardi saat pengumuman datang, karena karyanya memenangkan lomba tersebut sebagai terbaik satu dan mendapat hadiah Rp 1 juta. Hadiah yang sangat besar saat itu. Dengan bekal sebagian uang hasil lomba karena sebagian lagi harus diberikan guru geografi tersebut, Ardi dapat menyelesaikan KKN dan Skripsinya dengan mulus. Apalagi beberapa bulan setelahnya, Ardi masih memenangkan beberapa lomba dan mendapat hadiah ratusan ribu.
Keberuntungan mulai menghampiri kehidupan Ardi si anak yatim yang punya keinginan besar untuk maju. Selain ia diterima sebagai guru honorer di sekolah tersebut, ia juga diangkat sebagai guru ekstrakurikuler Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) yang kegiatannya dilakukan sekali seminggu. Berkali-kali ia menang lomba atas nama dirinya ataupun siswa yang menjadi binaannya. Kemampuannya menulis telah mendorong sekolah untuk mempertahankannya sampai Ardi dapat diterima kerja yang lebih mapan. Endingnya, tahun 1992, Ardi diterima jadi pegawai negeri di instansi pemerintah yang cukup bergengsi saat itu. Perjuangannya yang gigih, disertai doa yang terus menerus, telah menghantarkan Ardi menjadi orang yang terpandang di desanya dengan kehidupan yang jauh lebih baik dari orang tuanya.