Mewujudkan Masyarakat Berwawasan Kependudukan Melalui Pendidikan Kependudukan

  • 09 April 2018 08:49:03
  • 7487 views

Diakui atau tidak, Indonesia saat ini masih menghadapi banyak permasalahan kependudukan. Bukan hanya karena jumlah penduduknya yang besar, tetapi juga karena laju pertumbuhannya yang tinggi, persebarannya yang tidak merata, kualitasnya yang rendah dan kondisi kesejahterannya yang masih memprihatinkan. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama serta berpengaruh terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu, Indonesia merupakan negara nomor 4 dengan jumlah penduduk terbesar di dunia setelah RRC (1.343 juta jiwa), India (1.025 juta jiwa) dan Amerika Serikat (314 juta jiwa). Dengan Laju pertumbuhan Penduduk (LPP) 1,49% per tahun yang dinilai cukup tinggi, diperkirakan tahun awal tahun 2018 ini jumlah penduduk Indonesia telah mencapai tidak kurang dari 264 juta jiwa.
Selain LPP nya yang tinggi, persebaran penduduk antar pulau dan antar desa kota tidak merata. Penduduk Indonesia sampai saat ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan di tingkat regional terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Bandung, Makasar dan Semarang. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Pulau Jawa yang luasnya hanya 6,8% dari luas wilayah Indonesia ditempati oleh 57,5% penduduk Indonesia. Sementara Pulau Sumatera dan Kalimantan yang luasnya masing-masing 25,2% dan 28,5% hanya dihuni oleh 21,3% dan 5,8% penduduk Indonesia.
Kualitas sumber daya manusianya yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga belum menggembirakan karena masih berada dalam urutan 108 dari 187 negara di dunia dengan nilai IPM 70,18 di tahun 2016. IPM diukur dengan mempersandingkan empat indikator utama, yakni usia harapan hidup, persentase melek huruf dewasa, rata-rata lama menempuh pendidikan, dan pengeluaran perkapita. Dengan IMP yang rendah maka dapat ditarik kesimpulan kualitas sumberdaya manusianya juga rendah. Begitu sebaliknya. IPM yang tinggi menjadi cerminan bahwa kualitas sumberdaya manusia yang tinggi serta memiliki daya saing yang kuat sehingga eksistensi kehidupannya di masa mendatang menjadi lebih terjamin.
Tingkat kesejahteraan penduduk pun belum menggembirakan, berdasarkan laporan dari BPS hingga bulan September 2017, Indonesia masih memiliki 26,58 juta penduduk miskin atau 10,12% dari total penduduk. Penduduk miskin yang dimaksud adalah penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan.
Melihat permasalahan kependudukan yang ada, seluruh penduduk Indonesia harus memiliki wawasan kependudukan yang memadai termasuk penduduk usia muda. Dengan wawasan kependudukan yang memadai maka seluruh penduduk akan meyakini bahwa kelahiran/fertilitas, kematian/ mortalitas dan migrasi harus dipertimbangkan dengan seksama melalui penalaran akal dan hati nurani agar dapat memberi makna yang berguna bagi kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Intinya dalam berpikir, bersikap dan berprilaku sudah mempertimbangkan aspek kependudukan. Misalnya memiliki anak sedikit (2 anak cukup) agar keluarga masyarakat dan negara tidak terlalu terbebani dalam menyediakan kebutuhan hidupnya. Perilaku hidup berwawasan kependudukan merupakan tata nilai/norma yang dianut dalam hidup dan diharapkan menjadi karakter bagi setiap individu dalam masyarakat. Perilaku hidup berwawasan kependudukan merupakan penunjang pembangunan berwawasan kependudukan.
Selama ini kita menyakini bahwa banyaknya jumlah penduduk dipengaruhi oleh fertilitas (kelahiran), mortalitas (kematian), dan mobilitas (migrasi penduduk). Pada negara berkembang seperti Indonesia, angka kelahiran lebih tinggi daripada angka kematian. Pada negara maju angka kelahiran dan kematian hampir sama jumlahnya bahkan angka kelahiran lebih rendah daripada angka kematian. Hal tersebut akan menyebabkan pengurangan jumlah penduduk sehingga negara tersebut akan mengalami kekurangan tenaga kerja dan kemudian harus mengimport tenaga kerja dari luar. Contohnya adalah negara Jepang, Negara tersebut akan membayar orang jika ingin mempunyai anak. Ini disebabkan karena orang-orang Jepang terlalu memikirkan karirnya sehingga dia harus berpikir berulang - ulang jika ingin mempunyai anak.
Di balik banyaknya penduduk terjadi masalah kompleks yang berhubungan dengan kependudukan. Seperti ledakan penduduk, pengangguran, kelaparan, dan masalah yang lainnya. Selain itu juga persebaran penduduk yang tidak merata akan menyebabkan kesejahteraan rakyat yang tidak merata. Bertambahnya penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya luas wilayah, maka akan menyebabkan berkurangnya lahan untuk bercocok tanam sehingga terjadilah masalah sosial kelaparan. Hal ini disebabkan karena lahan sudah di tempati oleh penduduk. Namun penduduk harus berfikir bagaimana caranya menanam tanpa menggunakan lahan yang luas dan tanpa media tanah seperti hidroponik, areoponik dan sebagainya.
Ledakan penduduk terjadi karena angka kelahiran jauh lebih tinggi daripada angka kematian. Ini disebabkan karena banyaknya rakyat Indonesia yang mempunyai mempunyai anak pada usia dini. Selain itu, banyak orang tua yang menginginkan anak laki - laki. Sebelum mereka mendapatkan anak laki - laki mereka tidak akan berhenti untuk mempunyai anak. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengadakan program Keluarga Berencana (KB) yang sekarang menjadi program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) untuk menekan angka kelahiran supaya piramida kependudukan tidak mengerucut. Jika piramida kependudukan mengerucut maka yang terjadi adalah angka kelahiran dan kematian tinggi. Sehingga orang yang berusia tidak produktif jauh lebih banyak daripada orang berusia produktif. Meskipun kita juga menyadari bahwa negara dengan penduduk banyak juga memberikan keuntungan seperti bisa mengekspor tenaga kerja dari negaranya sehingga dapat menambah devisa negara.
Banyak penduduk desa yang bermigrasi ke kota (urbansasi) juga menjadi penyebab masalah kependudukan karena di kota penduduknya menjadi sangat padat dan memicu berkembangnya pemukiman kumuh. Selain itu ketersediaan air bersih juga kurang sehingga akan mempengaruh kesehatan penduduk. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya sebagai dampak dari urbanisasi adalah pengangguran. Pengangguran dapat disebabkan karena kurangnya lapangan pekerjaan. Ini bukanlah salahnya pemerintah tidak memenuhi lapangan pekerjaan tetapi, karena kemalasan rakyat tidak mau berpikir untuk membuka lapangan pekerjaan sehingga terjadilah yang namanya pengangguran. Ini dapat menyebabkan masalah sosial seperti perampokan, pembunuhan, pencurian, dan lain sebagainya. Pemerintah harus memberikan solusi untuk mengatasi masalah pengangguran seperti menyediakan lembaga - lembaga pembibingan khusus untuk mereka yang tidak mengenyam pendidikan sekolah sehingga mereka mempunyai bekal untuk menghadapi dunia kerja.
Atas dasar itulah maka penduduk usia muda termasuk siswa di sekolah perlu disadarkan akan besarnya dampak permasalahan kependudukan terhadap seluruh aspek kehidupan apabila tidak segera diatasi. Para remaja dan siswa diharapkan dapat berperan dalam pengendalian jumlah penduduk ini melalui upaya Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) dengan menikah minimal 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. Tidak melakukan pergaulan bebas yang dapat meningkatkan kasus kehamilan yang tidak diinginkan dan persalinan remaja serta tidak terjebak dalam penyalagunaan napza yang dapat menurunkan kualitas bahkan merusak generasi masa depan bangsa. Untuk mencapai kesadaran tersebut, maka Pendidikan Kependudukan sangat diperlukan bagi remaja baik yang masih sekolah maupun yang sudah lulus sekolah.
Di sekolah, pendidikan kependudukan umumnya diintegrasikan dalam mata pelajaran yang diberikan pada siswa di sekolah, baik SD, SLTP maupun SLTA. Sementara di masyarakat, pendidikan kependudukan diberikan melalui pertemuan penyuluhan, diskusi, penyebaran leaflet, pemutaran film dan sebagainya.
Kalau kita berbicara masalah pendidikan, filosofinya adalah bagaimana kita merubah mindset dan pola pikir seseorang yang berlanjut pada perubahan sikap dan tingkah laku. Dalam konteks ini, pendidikan diterjemahkan sebagai proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang melalui upaya pembelajaran yang tersistem sehingga dapat berubah ke arah yang lebih baik. Sedangkan kependudukan diartikan sebagai hal ihwal yang berkaitan dengan penduduk (jumlah, struktur, pertumbuhan, persebaran, mobilitas, penyebaran, kualitas, dan kondisi kesejahteraan yang menyangkut politik, ekonomi, sosial budaya, agama serta lingkungan penduduk setempat). Dengan demikian, Pendidikan Kependudukan merupakan pendidikan yang bertujuan untuk menggugah kesadaran dan kepedulian seluruh lapisan masyarakat (termasuk siswa di sekolah) terhadap masalah kependudukan dan dampaknya, serta upaya yang harus dilakukan agar taraf hidupnya naik serta berperilaku hidup yang berwawasan kependudukan.
Merunut sejarah, sebenarnya Pendidikan Kependudukan telah sejak lama menjadi isu dunia ditandai dengan adanya Deklarasi Kependudukan PBB tahun 1967, bahwa pemecahan masalah kependudukan harus dilakukan secara terencana, sistematis, dan komprehensif dalam jangka panjang dengan mengikutsertakan bidang dan sektor pembangunan terkait termasuk pendidikan. Tahun 1970 menjadi "Tahun Pendidikan Internasional" yang ditetapkan oleh PBB. Pada tahun yang sama telah diselenggarakan seminar dengan tajuk "Pendidikan Kependudukan" (Population Education) se-Asia Pacifik di Bangkok, Thailand yang disponsori oleh UNESCO.
Dalam kerangka inilah maka BKKBN telah menggagas adanya Sekolah Siaga Kependudukan (SSK). Untuk tingkat Pendidikan Dasar, Lanjutan Pertama dan Atas ( SD, SLTP dan SLTA), SSK mengintegrasikan muatan materi pendidikan Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) ke dalam beberapa mata pelajaran sebagai pengayaan materi pembelajaran. Ini agar siswa dapat memahami isu kependudukan secara lebih luas dan gurunya mampu mengintegrasikan isu kependudukan ke dalam pembelajaran sesuai kurikulum.
Dalam Program SSK, materi kependudukan diintegrasikan dengan mata pelajaran sesuai dengan pokok bahasan sehingga bukan mata pelajaran baru, tidak menambah jam pelajaran, tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar namun justru mempertajam materi yang dibahas. Program SSK menjadi wadah bagi program-program yang digulirkan BKKBN seperti PIK Remaja, Genre (Genre Goes to School), dan lain-lain sehingga dapat berjalan berdampingan dan simultan. Oleh karena itu, di sekolah yang menerapkan program SSK, perlu membentuk Pojok Kependudukan dan Siswa Peduli Kependudukan yang menjadi media informasi dan pengelola data kependudukan di sekolah. Di Kulon Progo, sekolah yang telah menerapkan Program SSK adalah SMP N 1 Galur, SMA N 1 Pengasih dan SMP N 4 Wates.
Besarnya jumlah penduduk usia sekolah di Indonesia merupakan potensi besar bagi keberlangsungan pembangunan dalam rangka mencapai cita-cita pendiri bangsa. Oleh karena itu peranan Pendidikan Kependudukan diperlukan agar siswa tumbuh dan berkembang menjadi generasi penerus yang memiliki karakter bangsa dan berkualitas serta memiliki pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan sikap perilaku berwawasan kependudukan.
Dengan mengetahui kondisi kependudukan di Indonesia, para siswa dapat mempersiapkan hidup lebih baik, dapat memberi makna hidup dalam mengelola keluarga, masyarakat, lingkungan dan dunia. Para siswa juga dapat berperan untuk membuat dunia yang lebih baik dari generasi sebelumnya, bukan menjadi lebih buruk.
Sejalan dengan hal tersebut, di bawah pemerintahan Presiden Jokowi dan JK terdapat 9 (sembilan) Agenda Prioritas Pembangunan (Nawa Cita), yang terkait dengan pembangunan manusia, Cita ke-5 yaitu "meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia", Cita ke-3 yaitu "membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam rangka negara kesatuan", dan Cita ke-8 yaitu "melakukan revolusi karakter bangsa" yang diawali dengan inisiatif melakukan Revolusi Mental.
Menurut Bung Karno, Revolusi Mental adalah "gerakan hidup baru untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, dan berjiwa api yang menyala-nyala." Revolusi Mental yang dimasyarakatkan melalui Gerakan Nasional Revolusi Mental saat ini bertujuan untuk mengubah cara pandang, pikir dan sikap, perilaku; membangkitkan kesadaran dan membangun sikap optimistis; serta mewujudkan Indonesia yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian. Revolusi Mental akan membentuk karakter manusia yang mempunyai tiga nilai, yaitu integritas, etos kerja, dan gotong royong. Gerakan Nasional Revolusi Mental adalah bagian dari Revolusi Pancasila dengan mempraktikkan sila-sila Pancasila dalam kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat,dan bernegara.
Tujuan Pendidikan Kependudukan tidak akan tercapai tanpa adanya niat dan tekad yang kuat, serta perubahan pola pikir yang diwujudkan melalui nilai-nilai Revolusi Mental. Melalui pendidikan kependudukan, masyarakat akan memiliki pengetahuan, pemahaman dan kesadaran tentang kondisi kependudukan dan implikasinya, akan ikut berkontribusi dalam membentuk karakter manusia bangsa Indonesia yang memiliki integritas, etos kerja dan gotong royong.

Nidya Zainun Faqiha
PIK Remaja Persadakarsa
Pedukuhan Karangwetan, Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo