Tantangan Mendewasakan Usia Perkawinan Remaja Kita

  • Dibaca 2533 kali
  • 29 Desember 2017 13:18:35

Masalah perkawinan usia dini, tampaknya akan terus menjadi persoalan serius yang dihadapi segenap pengelola program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) di Indonesia. Apa pasal ? Program KKBPK yang diarahkan untuk membangun keluarga kecil bahagia dan sejahtera, akan terkendala oleh banyaknya kasus perkawinan usia dini yang secara fisik, mental, sosial dan ekonomi belum siap untuk berkeluarga. Data Badan Pusat Statistik (BPS) paling akhir menyebutkan sebanyak 47,79% anak perempuan di pedesaan menikah pada usia di bawah 16 tahun yang merupakan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan menurut UU No 1 tahun 1974. Sementara di kota proporsinya 21,75%. Pernikahan usia dini ini umumnya banyak terjadi di daerah pantai utara, pantai selatan dan pegunungan. Selama ini Jawa Barat yang merupakan salah satu penyumbang Angka Kematian Ibu (AKI) terbesar di Indonesia, menyimpan kasus-kasus pernikahan usia dini di bawah umur 16 tahun yang cukup besar jumlahnya. Di level nasional, rata rata usia kawin bagi perempuan saat ini dalam kisaran 19 tahun.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai lembaga yang paling bertanggungjawab dalam pengembangan program KKBPK, memandang perlu untuk mendewasakan usia perkawinan di Indonesia. Idealnya, seorang perempuan kawin pada usia minimal 21 tahun sedangkan laki-laki minimal 25 tahun. Setidaknya ada tiga alasan mengapa upaya mendewasakan usia perkawinan di Indonesia menjadi sesuatu yang urgen. Pertama, sekarang ini banyak kasus-kasus ketidakharmonisan berkeluarga yang berujung pada perceraian karena pasangan suami isteri belum cukup umur untuk memikirkan/memecahkan persoalan-persoalan rumah tangga yang cukup rumit dan membutuhkan tidak saja kedewasaan berpikir dan kemampuan menahan diri, tetapi juga kesiapan mental dan ekonomi sebagai bagian terpenting untuk mampu membangun keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Sementara ketidakharmonisan sebuah keluarga akan membawa dampak pada terjadinya kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), timbulnya perselingkuhan, kekerasan atau penelantaran terhadap anak, terganggunya tumbuh kembang anak, dan permasalahan sosial lainnya.
Kedua, dengan pernikahan di usia dini, perempuan memiliki rentang masa reproduksi lebih panjang yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi jumlah anak yang akan dilahirkan. Sementara ditinjau dari sudut pandang demografi, jumlah penduduk di Indonesia saat ini menurut Sensus Penduduk 2010 sudah sangat besar, yakni mencapai 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,49% per tahun atau terjadi pertambahan sekitar 4 juta jiwa per tahun. Kondisi ini jelas akan memperberat beban pembangunan yang selama ini diupayakan pemerintah.
Selama ini kita pahami bahwa keluarga merupakan fondasi terwujudnya bangsa yang maju, sejahtera, mandiri dan berkeadilan. Bagaimana sebuah bangsa bisa maju, sejahtera dan mandiri, bila keluarga yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat kondisinya tidak kondusif serta tidak dapat melaksanakan fungsinya secara baik. Bagaimana pula sebuah bangsa akan menjadi bangsa yang berkeadilan, bilamana dalam keluarga saja keadilan tidak terbangun, tidak ada rasa saling menghargai, mempercayai dalam kedudukan yang setara. Hal tersebut mengandung makna bahwa membangun sebuah keluarga agar kelak menjadi keluarga kecil bahagia dan sejahtera harus benar-benar dipersiapkan secara matang, bukan sekedar asal-asalan apalagi terjadi karena "kecelakaan". Dengan demikian, mendewasakan usia perkawinan hingga benar-benar siap secara fisik, mental, sosial dan ekonomi menjadi tuntutan mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar.
Persoalannya, upaya mendewasakan usia perkawinan agar hasilnya optimal bukanlah pekerjaan yang mudah, karena dipastikan banyak tantangan dan masalah yang harus dihadapi. Apalagi pemerintah dalam hal ini BKKBN telah menetapkan melalui renstranya bahwa di tahun 2015-2019, usia perkawinan ditargetkan meningkat menjadi rata-rata 21 tahun dari 19,8 pada saat ini. Tantangan dan masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama, masih tetap diberlakukannya Undang Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang membolehkan perkawinan di usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi sikap dan pandangan masyarakat bahwa menikah diusia muda tetap diperbolehkan oleh pemerintah. Sementara yang kita tahu di usia tersebut rata-rata remaja kita masih sekolah/kuliah yang notabene belum siap secara ekonomi.
Kedua, masih lemah atau belum gencarnya upaya promosi dan sosialisasi pendewasaan usia perkawinan hingga usia minimal 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Lemahnya upaya promosi dan sosialisasi ini, selain karena keterbatasan dukungan sarana prasarana dan dana, juga lemahnya koordinasi lintas sektor, kurangnya dukungan tokoh formal dan non formal termasuk tokoh agama. Selama ini di kalangan ulama banyak yang toleran terhadap pernikahan di usia dini dengan alasan untuk menghindari zina, sudah saling mencintai, menutup rasa malu keluarga, menghindari sanksi sosial dan sebagainya.
Ketiga, masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mendewasakan usia perkawinan bagi anak-anaknya terutama yang perempuan dengan berbagai alasan seperti takut tidak laku, sudah ada yang mengajak berkeluarga dimana sang laki-laki sudah bekerja, ingin cepat-cepat punya menantu dan menimang cucu dan lain-lain.
Keempat, belum adanya model desa atau kecamatan percontohan pendewasaan usia perkawinan yang dapat dijadikan rujukan dan panutan untuk mengembangkan upaya mendewasakan usia perkawinan melalui program dan kegiatan yang positif bagi remaja, sehingga mereka secara sadar dan penuh perhitungan menunda perkawinan mereka hingga mereka betul-betul siap mengarungi kehidupan rumah tangga.
Selain keempat tantangan dan masalah tersebut, masih banyak tantangan dan masalah lainnya seperti belum adanya lembaga atau institusi yang fokus menangani masalah upaya pendewasaan usia perkawinan, adanya kelompok tertentu yang cenderung kawin di usia muda dan masih banyaknya daerah-daerah yang memiliki tradisi dan budaya yang mendorong warganya kawin lebih dini.
Namun banyaknya tantangan dan masalah tersebut dalam rangka mendewasakan usia perkawinan para remaja generasi penerus kita, tidak boleh menyurutkan niat kita untuk terus berupaya menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menunda usia perkawinan hingga segala sesuatunya telah siap. Semuanya demi kepentingan masa depan sang remaja itu sendiri, masyarakat dan bangsa yang benar-benar membutuhkan hadirnya keluarga berkualitas sebagai modal dasar untuk membangun di semua aspek kehidupan.

Ngatini, SE
Penyuluh KB Kecamatan Wates
Kulon Progo