Fenomena Penyelenggaraan Urusan di Kabupaten Pasca Terbitnya UU 23 Tahun 2014,
- Dibaca 8283 kali
- 02 Februari 2015 08:02:21
a. Pengantar
Kemutakhiran sebuah jaman adalah ketika massa itu dapat membuat perubahan sejarah yang membedakan saat sebelumnya dengan sesudahnya, saat sulit menjadi mudah, saat rumit menjadi sederhana dan saat renta menjadi baru. Hal itu sebagaimana yang terjadi pula pada sistem ketatanegaraan dan pemerintahan daerah di negara kita. Perubahan sistem ini merupakan desaign sebuah regulasi pemerintah yang bernama UU 23 Tahun 2014 yang melakukan perubahan dan pembaharuan terhadap marwah dan semangat UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Landasan sosiologis, historis dan filosofis yang akhirnya memutuskan kedua sahabat ini untuk berpisah menapaki jamannya sendiri adalah kawan lama dinilai tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daeah.
Sebuah prestasi telah diraih yakni dengan diundangkannya UU 23 tahun 2014 ini tertanggal 2 Oktober 2014 oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia dan masuk dalam lembaran negara tahun 2014 nomor 244. Banyak catatan yang di dapat dari pelajaran bergesernya regulasi ini bagi daerah seperti pondasi tentang esensi urusan yang semula daerah hanya mengenal dua yakni wajib dan piihan sekarang ini ada beberapa peristilahan baru seperti urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, dan tidak berkaitan pelayanan dasar sebagaimana Pasal 12 ayat (1) dan (2) pada UU 23 Tahun 2014. Semangat inovasi dibangun untuk dilaksanakan di daerah sesuai pasal 386 dengan mendasar pada pasal 387 peningkatan efisiensi, perbaikan efektifitas, perbaikan kualitas pelayanan, tidak ada konflik kepentingan, dilakukan terbuka, memenuhi nilai kepatutan, dan dapat dipertanggungjawabkan tidak untuk kepentingan diri sendiri.
Dikenal juga adanya paradigma kecamatan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum diberikan anggaran dari APBN dari pusat seperti dikenal dalam pasal 25 yaitu pembinaan kesatuan bangsa, pembinaan antar suku, penanganan konflik, koordinasi lintas instansi, pengembangan demokrasi, dan semua urusan pemerintahan terutama yang berorientasi pada pelayanan publik. Pun juga terjadi pada kelurahan, jika pada UU 32 tahun 2004 posisi kelurahan merupakan sub ordinat langsung di bawah Bupati, tetapi pada UU 23 Tahun 2014 Kelurahan di bawah struktur kecamatan.
b. Konsekuensi logis regulasi dan substansi
Kabupaten sebagai sub ordinasi pemerintah memiliki kewajiban tunduk, patuh dan loyal terhadap sistem besar ketatanegaraan di republik ini baik dalam perspektif regulasi, manajemen penyelenggaraan pemerintah, dan ketatalaksanaan lainnya. Dengan kata lain apa yang menjadi arah penyelenggaraan pemerintahan di kabupaten persis harus berada di titik sub ordinat pemerintah pusat secara trandsendental. Oleh karenanya kabupaten akan merasa kebingungan tatkala terdapat permasalahan menyangkut substansi penyelenggaraan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang notabene sebagai pengampu urusan, tetapi terbentur oleh regulasi yang belum jelas di tingkat pusat.
Kita mengetahui bersama bahwa UU 23 Tahun 2014 adalah merupakan pintu masuk penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam struktur hukum di Indonesia tentu saja regulasi tersebut tidak serta merta dapat dilaksanakan di tingkat bawah seperti halnya kabupaten dan diperlukan produk hukum turunan yang lebih teknis menjelaskan konten yang lebih rinci seperti Peraturan Pemerintah (PP) sebagai amanah harus terbentuk maksimum 2 (dua) tahun setelah diterbitkannya UU. Turunan ini akan segera ditindaklanjuti dengan peraturan kementrian yang lain yang akan di tangkap oleh kabupaten seluruh Indonesia sebagai modal awal penyusunan Peraturan Daerah maupun Peraturan Kepala daerah yang diamanatkan dalam pasal 236 UU ini.
Melihat permasalahan yang ada upaya yang mendasar perlu dilakukan oleh pemerintah pusat adalah segera menindaklanjuti bagaimana membuat regulasi turunan dari UU 23, karena difahami bahwa kabupaten tidak akan mungkin potong kompas membuat produk hukum daerah jika belum ada produk hukum lanjutan (intermediate). Terlebih lagi berdasarkan UU 23 terdapat beberapa kewenangan strategik yang selama ini dilaksanakan oleh kabupaten harus pindah di propinsi seperti pendidikan dan pertambangan, sehingga ada kewajiban untuk melimpahkan dukungan sarana, penganggaran dan personil yang dibatasi limitasi waktu tertentu.
c. Tawaran mudah tetapi tidak menyelesaikan masalah dengan tuntas
Hasil konsultasi ke yang berkompenten terhadap kemandekan ide maupun inspirasi berfikir dan bertindak diminta terhadap kabupaten pemangku kepentingan untuk mengambil langkah-langkah praktis untuk mengatasinya. Dalam kitab yang di yakini oleh sebagian perencana negara di belahan bumi ini bahwa cara mudah dan sederhana dalam mengatasi masalah transisi adalah bertindak mengambil keputusan dalam dimensi pragmatis tetapi tidak memaduserasikan dimensi konsepsi dan teoritis. Sehingga dikhawatirkan tidak cermat menganalisa diskresi yang tidak di dukung oleh premis-premis logika karena ada tafsir-tafsir nilai yang tidak lurus. Yang terjadi adalah dorongan untuk segera melakukan aksi tanpa memperhatikan banyak aspek yang menaungi dimensi dari keberagaman ilmu. Tetapi jangan juga sampai berlama-lama melakukan pengambilan keputusan dikarenakan di tingkat pelaksana mengalami kebuntuan langkah pelayanan yang segera.
Internalisasi dan pendalaman bagi SKPD tentang arti pentingnya urusan juga sangat diperlukan, mengingat bahwa urusan merupakan entry point (pintu masuk) bagi program dan kegiatan. Anggaran yang ada di SKPD dengan jumlah tak terhingga adalah sesuatu yang mustahil jika tidak ada yang menaungi yakni urusan yang ada. Sedangkan Urusan ada dikarenakan adanya regulasi yang memuat isi dimanakah urusan itu berada. Apakah anda termasuk yang memaklumi ini. Lalu agar Peraturan Daerah tentang urusan ini merupakan rangkaian yang taat asas apakah harus meninggalkan Peraturan Pemerintah di atasnya?