Pendekatan Budaya Perlu untuk Menurunkan Resiko Bencana

  • 22 Januari 2015 14:41:11
  • 3251 views

Dalam rangka meningkatkan kapasitas aparat dan masyarakat dalam penanganan resiko bencana, Badan Penanggulangan Bencana DIY mengadakan sosialisasi pengurangan resiko bencana. Acara ini diselenggarakan di Wates, Kamis (22/1). Hadir sebagai narasumber waktu itu adalah Untung Waluyo (Kepala BPBD Kulon Progo), Heri Siswanto (Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD DIY), Budi Supardi (Kasi Pencegahan BPBD DIY) dan Agus Hendratno (Dosen Teknik Geologi UGM).

Dalam paparannya, Untung Waluyo menjelaskan bahwa untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam rangka pengurangan resiko bencana (PRB), BPBD tidak hanya mengandalkan masalah struktural, yaitu mengenai aturan main, logika dan berbagai prosedur (SOP) yang dibangun bersama-sama. Namun tidak kalah pentingnya adalah membangun kultur/budaya menjadi kekuatan masyarakat yang bernuansa harmonisasi dengan alam. 

"Jadi tidak semuanya dilakukan dengan pendekatan struktural, karena jika pendekatan budaya lebih menguntungkan, karena lebih murah," kata untung.

Namun diakuinya saat ini telah terjadi pergeseran budaya terkait hubungan dengan alam karena pengaruh modernisasi dan budaya global menyebabkan orang mencari yang serba instan, yang kemudian melunturkan rasa kepedulian terhadap alam.

Terkait PRB dengan pendekatan budaya, Agus Hendratno menjelaskan bahwa dari pengalamannya berkeliling Indonesia dalam rangka penanganan bencana, budaya masyarakat dalam menyikapi resiko bencana sangat beragam, ada yang sudah benar-benar paham, namun banyak pula yang cuek. 

"Jadi belum semua masyarakat memiliki budaya itu, khusus masyarakat Jawa saya kira kita sudah kehilangan spirit dan moral dalam konteks nilai-nilai baik di masa lalu, karena terpengaruh budaya modern yang kebetulan budaya modern ini tidak begitu signifikan terhadap hal-hal yang menyangkut budaya bagi yang hidup di daerah rawan bencana," tutur Agus.

Dalam konteks tanah longsor dan banjir, yang menjadi bidang ilmunya, Agus mengakui selama ini dirinya sering berkampanye dalam berbagai forum untuk mencoba mengembalikan etika terhadap lingkungan sekitar. Tidak perlu bicara jauh-jauh, resiko bencana di daerah Sentolo tentu berbeda dengan daerah Girimulyo. Dengan melihat kondisi alam, masyarakat sekitar seharusnya memiliki kesadaran bagaimana mengolah lahan supaya bisa berbasis konservasi lingkungan untuk mengurangi resiko bencana. 

"Dalam konteks budaya ini, niat kita adalah untuk beradaptasi, jadi bagaimana mengedukasi masyarakat supaya memiliki perhatian kepada lingkungan," jelasnya. 

Terkait penanganan bencana, Heri Siswanto menjelaskan bahwa pengurangan resiko bencana saat ini bertujuan untuk meminimalisir korban, yang disebabkan sudah adanya kesiapsiagaan masyarakat di daerah rawan bencana. Konsep yang dilakukan dalam penanggulangan bencana adalah menjauhkan masyarakat dari sumber bencana, menjauhkan bahaya bencana dari masyarakat, dan jika masyarakat tetap bersikeras tinggal di daerah bencana maka melalui kearifan lokal, yaitu living harmony with risk disaster.

Sementara menurut Budi Supardi mengenai isu strategis kebencanaan di DIY, dirinya memaparkan bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa DIY merupakan daerah yang rawan bencana sehingga perlu perubahan paradigma penanganan bencana dari yang bersifat responsif menjadi pengurangan resiko bencana. Selain itu ada juga isu lain seperti penghargaan, perlindungan dan pelestarian kearifan lokal yang berkembang di masyarakat dalam pengelolaan SDA dan lingkungan, kerjasama seluruh pemangku kepentingan (pemerintah daerah, masyarakat, LSM, perguruan tinggi dan swasta), dan tekanan kebutuhan ruang untuk kegiatan budidaya pada kawasan lindung (perubahan fungsi lahan).***