DUA ANAK, MEMANG LEBIH BAIK

  • Dibaca 2780 kali
  • 31 Oktober 2011 10:43:26

Pagi-pagi Pak Tukiman (nama samaran) sudah dibuat pusing tujuh keliling. Berkali-kali ia mondar-mandir berjalan keluar masuk di rumah bambunya yang reyot sambil sesekali menggeleng-gelengkan kepala sambil mendesah. Tanpa terasa rokok tingwe yang sesekali ia hisap terjatuh karena pikirannya sedang kacau. Kacau oleh keadaan ekonomi keluarganya yang kelewat miskin, karena apa-apa tidak punya. Terlebih sejak bahan kebutuhan hidup sehari-hari melambung tinggi, kehidupan keluarganya semakin menderita saja, karena untuk memenuhi kebutuhan makan saja susahnya bukan main.
Wajar bila Pak Tukiman pusing, soalnya ia yang beranak lima orang masih kecil-kecil, baru saja mendengar keluhan isterinya Tukinem (bukan nama sebenarnya) bahwa beras yang akan di masak sudah habis, belum lagi bumbu dan sayur sudah tidak ada. Kecuali beberapa lembar daun melinjo muda pemberian tetangga kemarin sore. Mau berhutang ke warung, sudah tidak mungkin karena hutang sebelumnya belum terbayar. Sementara mau pinjam ke tetangga kiri kanan, merasa malu karena hutangnya memang sudah "tempuk gelang". Artinya hampir semua tetangganya sudah pernah dipinjami uang atau barang, dan semuanya belum dikembalikan. Mau menggadaikan atau menjual barang/perabotan rumah tangga, sama sekali tidak ada barang yang berharga. Jangankan pesawat televise, tape recorder atau radio, piring, gelas dan sendok yang adapun sudah kusam karena digunakan untuk makan sehari-hari. Jadi tidak mungkin untuk digadaikan atau dijual. Sebelumnya sang isteri mungkin sudah tahu, bila suaminya juga tidak memiliki uang. Tetapi ia harus tetap bilang pada ayah dari anak-anak, siapa tahu ada jalan keluar yang dapat mengurangi beban pikirannya.
Tanpa disadari, kedua mata Pak Tukiman berkaca-kaca saat melihat isterinya meneteskan air mata sambil menangis sesenggukan. Ia sendiri tidak memiliki uang yang cukup. Di dompetnya tinggal ada beberapa keping uang receh yang nilainya tak lebih dari dua ribu rupiah. Hatinya seperti teriris-iris. Terlebih saat melihat kelima anaknya yang masih tidur berjajar di amben tua beralaskan tikar lusuh. Dipandanginya anaknya satu per satu. Yanto, Jono, Tono, Ari... Selengkapnya silakan download file